May 11, 2008

Berita Pers : Pengobatan Irasional Marak di Indonesia












May 9, 2008



JAKARTA, 3 Mei 2008 - Penggunaan obat yang tidak rasional masih marak di
Indonesia, dan masalah ini menjadi tanggung jawab banyak pihak, dari pembuat
kebijakan, asosiasi profesi tenaga kesehatan, industri farmasi, dokter,
apoteker, hingga media massa dan pasien. Kerja sama dan dukungan semua pihak
mutlak diperlukan untuk memperbaiki kualitas pola pengobatan menjadi
rasional sebagaimana dianjurkan Badan Kesehatan Dunia WHO.

Menurut WHO, pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai
kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta
dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya. Pola
pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di atas adalah pola pengobatan
tidak rasional.

Demikian topik utama seminar Puyer: Quo Vadis? yang diselenggarakan Yayasan
Orang Tua Peduli (YOP) bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
wilayah Jakarta dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) hari
ini di Aula FK-UI Salemba. Seminar yang diharapkan menjadi titik balik dunia
kedokteran Indonesia untuk menata kembali pola pemberian obat agar menjadi
rasional ini dihadiri konsumen kesehatan, dokter umum, farmasis, mahasiswa
tingkat akhir dan staf pengajar FK-UI.

Para pakar dari berbagai kalangan hadir sebagai panelis: Prof. Dr. dr.
Rianto Setiabudi, Sp.FK (Farmakologi FK-UI); dr. Purnamawati S. Pujiarto,
Sp.A(K), MMPed (YOP); Dra. Ida Z. Hafiz, Apt. Msi (Farmasi FK-UI); Prof. dr.
Effionora Anwar, M.S., Apt. (Farmasi FMIPA-UI); Huzna Zahir (Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia); dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad (K) (IDI wilayah DKI
Jakarta); Prof. dr. Mardiono Marsetio, Sp.M (K) (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran); dan dr. Zunilda S. Bustami, MS, Sp.FK (Farmakologi UI). Dr.
Dra. Delina Hasan Apt, M.Kes bertindak selaku moderator diskusi terbuka di
akhir acara.

Topik yang dibahas meliputi praktik peresepan yang baik, konsep pengobatan
rasional, puyer dari perspektif farmasi, serta praktik pengobatan di negara
lain. Pemaparan para ahli ini dilengkapi testimoni pekerja dan konsumen
kesehatan mengenai pengalaman pengobatan dalam praktik sehari-hari.

Contoh pola pengobatan tidak rasional adalah pemberian beberapa obat
sekaligus pada saat bersamaan dalam kondisi yang tidak perlu (polifarmasi),
pemberian antibiotika yang berlebihan, serta tingginya tingkat pemakaian
obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Salah satu contoh polifarmasi adalah
pemberian puyer atau racikan (compounding) yang berisi beberapa obat
sekaligus untuk anak-anak dengan gangguan kesehatan ringan harian seperti
demam, batuk-pilek atau diare.

Polifarmasi beresiko memicu interaksi obat. Suatu analisis terhadap sejumlah
resep untuk pasien anak-anak yang masuk di suatu apotek di Jakarta Selatan
pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 53% diantaranya merupakan pemberian obat
secara polifarmasi (lebih dari 4 obat) dan 12% diantaranya memicu timbulnya
interaksi obat yang tidak diinginkan (sumber: Media Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan).

Di beberapa negara berkembang, persentase peresepan antibiotika yang
sebenarnya tidak perlu diberikan berkisar antara 52% sampai 62%. Data yang
terekam dari Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan YOP mencatat
sedikitnya 47% antibiotika yang diberikan sebenarnya tidak diperlukan.
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat ini akan menimbulkan masalah baru,
yaitu resistensi kuman.

Menurut Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK dari Farmakologi FK-UI,
pemberian resep racikan (puyer) di luar negeri saat ini hanya tinggal 1%.
Sementara di Indonesia, resep puyer untuk anak masih sering sekali dijumpai.
Dalam satu hari, apotek di salah satu rumah sakit swasta di Tangerang bisa
membuat rata-rata 130 resep puyer.

“Peresepan obat racikan membawa risiko dan berbagai dampak negatif bagi
pasien dan petugas farmasi. Kontrol kualitas sangat sulit dilaksanakan dalam
pembuatan puyer karena tingginya kemungkinan kesalahan manusia. Selain itu,
stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus,
sedangkan toksisitas obat dapat meningkat,” jelas Rianto lebih lanjut.

Profesi kedokteran ditantang untuk mau dan mampu melakukan audit profesi dan
audit kerasionalan dalam memberikan resep sehingga dampak negatifnya dapat
dihindari, seperti meningkatnya biaya pengobatan yang tidak efisien serta
terjadinya efek obat yang tidak diharapkan.

Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan
farmakoterapi tampaknya dihadapi kalangan profesional kesehatan di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ironisnya, kelemahan ini
dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang. Dengan gencar, para dokter
dibanjiri informasi mengenai produk obat mereka. Sayang, informasi ini
umumnya tidak seimbang, cenderung dilebih-lebihkan, dan berpihak pada
kepentingan komersial.
-Selesai-

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:

Yayasan Orang Tua Peduli
Komplek PWR, Jalan Taman Margasatwa No. 60, Jakarta 12540
Tel: (021) 780 0271
dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp.A(K), MMPed (purnamawati.spak@cbn.net.id)
dr. Yoga Pranata, S.Ked (doyogh@gmail.com)

No comments: